Penulis:
Sandy Setiawan
SEBUAH ungkapan yang menyebut, kerja keras tidak akan menghianati hasil, kembali terbukti. Adalah Wulan Syamsuddin atau kini lebih dikenal dengan nama Wulan Maxel, perempuan berdarah Luwu yang kini sudah perlahan-lahan menanjak ke puncak kariernya sebagai desainer ternama di Paris, Prancis.
Gaun-gaun yang didesain Wulan, telah dipakai oleh sejumlah artis dari berbagai negara, sebut saja Prancis, Italia, Dubai dan Maroko. Bahkan, gaun yang diberi nama Red Fire, sudah pernah mejeng di Red Carpet Cannes Film Festival di Prancis, sebuah event film bergengsi dunia dan dipakai oleh artis papan atas Italia, Clarissa Messina.
Namun siapa yang menyangka, buah manis yang kini mulai dipetiknya itu didapatkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. “Saya bisa sampai diposisi sekarang ini, sangatlah tidak mudah. Semua berasal dari perjuangan dan pengorbanan yang sangat panjang dan berat,” ujar Wulan Maxel saat memulai percakapan dengan jurnalis palopotoday.id.
Wulan –sapaan akrabnya– mengatakan, sebelumnya sejumlah kegagalan terus menghampirinya. Kehidupan rumah tangga juga tidak berjalan mulus. Beberapa kali mencoba peruntungan di rantau, namun semua tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
“Beberapa kali saya merantau, tapi nyaris semua bisa dikatakan belum menemukan hasil sesuai yang saya harapkan. Saya pernah merantau ke Papua, Kalimantan, bahkan hingga ke Jakarta. Namun saya harus bersabar karena belum sesuai harapan,” kata perempuan yang lahir di Pomala, Sulawesi Tenggara 34 tahun yang lalu ini.
Hingga pada suatu waktu, di tahun 2013, kata Wulan, dirinya melihat salah seorang temannya di Bali sudah cukup berhasil. Dengan niat mengubah nasib, Wulan lalu menghubungi teman tadi dan meminta untuk dicarikan pekerjaan. “Saya ini harus menghidupi keluarga, kalau tidak kerja, bagaimana saya bisa menjamin kehidupan keluarga saya,” jelasnya.
Setelah meminta restu dari ibunya, Wulan berangkat ke Bali untuk mengadu nasib. Motor satu-satunya, kemudian dijual sebagai modal memulai hidup di rantau. “Saya ini dibesarkan oleh ibu dan ayah tiri, awal melepas keduanya untuk kembali merantau, itu sangat sulit,” kenangnya.

Sesampainya di Bali, Wulan kembali harus kecewa, setelah teman tadi meninggalkannya dan membiarkan dirinya berjuang sendirian. “Bayangkan saja, saya baru tiba di Bali dan sendiri. Teman saya hanya membawa saya ke sebuah apartemen dan ditinggalkan sendirian di sana. Saya tidak tahu harus kemana, karena saya tidak tahu sama sekali tempat-tempat di Bali,” ujar Wulan.
“Saya bahkan sempat tidak makan nasi selama tiga hari, karena demi mengirit uang. Saya hanya makan kerupuk dan minum air keran. Apalagi sewa apartemen itu 250 ribu perhari. Waktu itu perasaan saya sudah campur aduk, marah, sedih, dan tak tahu lagi harus bagaimana,” ucapnya sambil menghela nafas.
Beruntung, pemilik apartemen tadi, kata Wulan, memberi keringanan kepada Wulan setelah tahu masalah yang menimpanya. “Pemilik wisma itu namanya Bu Made, dia sangat baik, dan beliaulah yang banyak berjasa di awal-awal saya di Bali. Saya hanya dikenakan biaya sewa 800 ribu perbulan,” ucap Wulan yang mengaku telah putus sekolah sejak usianya 15 tahun.
Untuk melanjutkan hidup di Bali, Wulan mengaku kerja serabutan. Apa saja yang bisa menopang hidupnya, dilakukan dengan ikhlas. Wulan sudah membulatkan tekadnya, kali ini dirinya harus berhasil demi keluarga di kampung.
“Awal-awal saya di Bali saya bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah lesehan, di situ saya tidak digaji, cuma diberi makan saja sebagai upah. Itu semua tidak masalah, intinya saya harus berhasil. Saya tidak ingin pulang lagi ke kampung membawa kegagalan,” jelasnya.
“Keluarga, utamanya mama, sering menelepon menanyakan kabar. Saya harus banyak berbohong. Saya bilang, saya tidak apa-apa di sini ma’, saya suka di sini. Orang di sini baik-baik semua. Walau itu semua berbanding terbalik dengan yang saya rasakan,” katanya lebih lanjut.
Wulan juga menjelaskan, dirinya sangat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan karena dirinya tidak bisa berbahasa Inggris. Sementara, hal itu menjadi prasyarat utama dalam mencari kerja di Bali.
“Saya di Bali kerja apa saja, seperti bantu orang jualkan baju, sepatu dan apa saja. Sehari bisa dapat 25 ribu sampai 30 ribu. Hasil kerja seperti inilah saya tabung, lalu akhirnya bisa ikut kursus Bahasa Inggris dengan membayar 300 ribu untuk kategori paling standar, yang penting bisa bercakap-cakap saja dulu,” urainya.

Berbekal Bahasa Inggris yang terbilang pas-pasan, Wulan lalu melamar kerja di sebuah restoran yang cukup terkenal. Di sinilah, kata wulan menjadi tangga awal untuk nasib yang lebih baik. “Saya diterima di sebuah restoran yang cukup terkenal di Bali. Di restoran ini, pengunjungnya rata-rata bule’ kalangan atas,” kisahnya.
Suatu ketika, Wulan mengisahkan, dirinya diajak bergabung di salah satu meja, di mana di situ nampak mereka yang duduk adalah kalangan atas. Wulan menceritakan, awalnya dia menolak karena dirinya bukan pramusaji.
“Saya bilang ke perempuan yang mengajak saya bergabung, jika saya bukan pelayan yang biasa menuangkan minuman. Tapi perempuan tadi berkata, bukan untuk itu saya diajak bergabung. Katanya, perempuan tadi melihat energi positif yang terpancar dari saya. Saya juga tidak tahu dan bingung,” ujar Wulan yang sangat mencintai olahraga senam dan tari-tarian ini.
Sebelum pulang, kata Wulan, perempuan Prancis tadi menitipkan kartu nama dan meminta untuk dihubungi jika saja Wulan butuh bantuan atau pekerjaan. “Saat perempuan itu pulang, saya diberikan kartu nama. Dari kartu nama itu, saya tahu kalau dia pemilik sebuah perusahaan yang bergerak di bidang dancer profesional,” jelasnya.
Tidak berselang lama, lanjut Wulan, dirinya kemudian menghubungi perempuan itu. Di samping butuh suasana baru, Wulan juga mengaku tertarik dengan jenis pekerjaan sebagai dancer.
“Saya ini sejak kecil suka menari. Bahkan, dulu masih SD saya sempat mengajari teman-teman saya senam SKJ karena saya dianggap pintar waktu itu. Makanya setelah saya pikir-pikir, pekerjaan ini cukup menarik. Selain itu, saya selalu berusaha untuk bisa berbuat lebih dari apa yang saya dapatkan saat ini,” ucapnya.
Setelah bertemu dengan pemilik Extreme Production, Wulan lalu ditawari untuk menjadi seorang dancer. “Karena saya tipikal orang yang suka dengan tantangan, apalagi saya hobi dengan hal-hal seperti ini, saya langsung menyetujui dan ikut bergabung,” ujar Wulan menceritakan.

Di tempat inilah, Wulan mengaku sedikit demi sedikit mulai bisa menabung dan membeli keperluannya di Bali. “Awalnya hampir semua pakaian, tas dan sepatu saya itu adalah pemberian teman-teman yang ada di Bali. Saya hanya bisa pakai bekas dari mereka. Alhamdulillah, saat saya bergabung di Extreme Production, saya juga sudah bisa beli sendiri,” ujar Wulan.
Saat bekerja di Extreme Production ini juga, aku Wulan, dirinya bertemu dengan pria Australia yang berprofesi sebagai tentara dan melamarnya untuk dijadikan istri.
“Saya akhirnya menikah dengan pria asal Australia ini, lalu memutuskan untuk berhenti bekerja dan ikut suami ke Australia,” kata Wulan.
Di Australia, kata Wulan, kehidupannya sudah jauh lebih baik. Dirinya juga sudah rajin mengirim uang ke kampung.
“Saat di Australia inilah awalnya saya mulai membuat gaun. Karena di sana, waktu luang lebih banyak. Jadi sambil bekerja sebagai pemetik buah, saya juga iseng-iseng buat gaun untuk dipakai sendiri,” ujarnya menerangkan.
Tak disangka, jelas Wulan, respon dari kerabat di sana sangat positif dan sangat mengapresiasi karya pertama yang Wulan ciptakan. “Kerabat di sana awalnya tidak menyangka kalau baju itu saya yang buat. Katanya wow amazing, itu baju yang sangat indah,” ujar Wulan menirukan.
Tapi, kembali cobaan datang menerpa, Wulan harus berpisah dengan sang suami dan memutuskan untuk kembali ke Bali. “Saya pisah dengan suami, tapi saya mendapatkan hak asuh anak. Saya pun putuskan kembali ke Bali dan menyambung hidup di sana,” urainya.
Sesampainya di Bali, Wulan kemudian ingin membeli Villa untuk disewakan kembali. “Kebetulan saat itu, villa yang saya ingin beli itu, juga disukai oleh seorang pria Prancis. Akhirnya agensi mempertemukan kami untuk mencari solusinya,” ungkapnya.
“Saat kami bertemu, seperti ada chemistry antara saya dengan dia. Saling tukaran kontak, akhirnya setelah melalui komunikasi yang cukup lama, kami berdua akhirnya memutuskan untuk bekerjasama dan membeli Villa yang lebih besar untuk dijadikan usaha bersama,” tambahnya.

Dari seringnya bertemu, ungkap Wulan, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. “Lagi-lagi saya harus meninggalkan Bali, karena suami akan kembali ke negaranya. Saya sebagai istri, ikut saja kata suami. Usaha penyewaan villa di Bali, kemudian saya percayakan kepada teman untuk mengelolanya,” tuturnya.
Beberapa waktu di Prancis, Wulan kembali harus mendapat cobaan. Orang yang dipercayakan mengelola villa di Bali, berulah dan membawa lari sejumlah uang. “Padahal saya sudah sangat percaya pada orang itu, uang ratusan juta dibawa pergi. Saya sangat sedih,“ katanya.
Akibat kejadian itu, jelas Wulan, keluarga di Prancis menyarankan agar villa itu dijual saja. “Suami dan mertua menyarankan agar saya jual saja itu villa, mereka tidak mau saya terus memikirkan hal itu sehingga kesehatan saya terganggu dan berakibat janin yang saya kandung juga terganggu,” ujar Wulan.
“Mengikuti anjuran keluarga, akhirnya saya menjual villa itu. Biar saya bisa fokus untuk kesehatan diri dan kandungan saya. Apalagi, anak yang saya kandung ini merupakan cucu pertama dari keluarga suami, jadi keluarga tidak ingin terjadi apa-apa,” tambahnya.
Setelah setahun di Prancis, pendemi covid-19 melanda dunia, semua aktifitas menjadi terbatas. “Saat covid-19 melanda, kami di Prancis tidak bisa berbuat banyak. Semua serba terbatas. Apa-apa harus dikerjakan di rumah. Hampir tidak ada aktifitas luar rumah. Saat itu saya betul-betul stres,” cerita Wulan.
Namun, kata Wulan, covid-19 membawa berkah tersendiri bagi dirinya. Di mana hikmah yang diperoleh dari pandemi inilah yang membuat Wulan akhirnya bisa dikenal seperti sekarang ini.
“Waktu itu saya betul-betul marah karena ruang gerak terbatas. Akhirnya saya di rumah menumpahkan semua kekesalan saya itu dengan membuat gaun. Gaun yang saya buat itu adalah Red Fire, di mana filosofi dari gaun tersebut bermaksud membakar covid-19 yang sangat menyusahkan orang banyak,” jelasnya.
“Jadi Red Fire itu memang ada kisah tersendirinya. Mungkin karena filosofinya itulah yang membuat banyak mata tertuju padanya. Artis-artis menyukainya. Semua orang yang melihatnya, mempunyai kesan tersendiri,” ujar Wulan sambil tertawa kecil.
Wulan melanjutkan, gaun Red Fire-nya itu menjadi pembuka dirinya dikenal banyak orang di dunia fashion di Prancis. “Orang-orang pada bertanya, siapa desainer dari gaun itu. Bahkan, waktu diwawancara oleh jurnalis tv di Prancis, sang reporter merasa takjub dan terheran-heran,” urainya.
“Mungkin juga karena selain gaun itu punya filosofi yang menarik bagi orang-orang, saya juga kan tidak punya basic desainer. Saya tidak pernah mendapatkan pendidikan formal terkait merancang busana. Saya belajar menjahit secara otodidak dari ibu dan mengikuti naluri saja,” jelas Wulan.

Sejumlah gaun rancangan Wulan telah digunakan di sejumlah event Red Carpet di Prancis dan dipakai oleh beberapa nama besar mulai dari model hingga artis papan atas dunia. Sebut saja, artis Prancis Orianne Daudin, artis Italia Clarissa messina, artis Maroko Mimi Bakkar, dan model Prancis, Linda Cormier.
Meski demikian, kata Wulan, itu semua tak lepas dari rahmat dari Allah Subhana wa Ta’ala. “Kita ini hanya manusia biasa, semua itu karena ridho-Nya. Selain itu, tentu karena doa dari mama saya yang tak henti-hentinya mendoakan kebaikan untuk anaknya ini,” ucap Wulan yang juga mengaku mendapat dukungan penuh dari suami dan anak-anaknya.
Saat ini, kata Wulan, dirinya hanya berusaha fokus dengan apa yang telah dikerjakannya ini. “InsyaAllah pada event Red Carpet Festival Film Cannes tahun 2023, saya sudah menyetujui kontrak membuat gaun untuk dipakai kembali oleh Clarissa Messina,” katanya.
Wulan juga meminta doa dan dukungan dari masyarakat Indonesia, agar dirinya bisa mengharumkan nama Indonesia di luar negeri khususnya di bidang fashion.
“Saya juga punya mimpi bagaimana pakaian-pakaian khas Indonesia, khususnya Sulawesi bisa ikut dipakai di event-event bergengsi di luar negeri. Mohon doa ta’ semua,” tutupnya. (*/)